Masjid Menara Kudus yang terletak di Kota Kudus merupakan
salah satu peninggalan Sunan Kudus yang paling mahsyur. Tak hanya indah tetapi
juga memiliki semangat spiritual dalam mengobarkan semangat Islam. Namun
sejarah mengenai berdirinya Masjid Menara Kudus masih belum diketahui
kebenarannya. Jika melihat dari batu tulis yang terletak di atas tempat mihrab
masjid yang bertuliskan dan berbahasa Arab, yang mulai sulit dibaca akibat
usianya yang tua sehingga telah banyak huruf-huruf yang rusak, menunjukan bahwa
Masjid Menara kudus didirikan oleh Sunan Kudus pada 956 H (sama dengan tahun
1468 C/ 1537 M). Batu tersebut memiliki perisai. Adapun ukuran batu beserta
perisainya sepanjang 46 cm, dengan lebar 23 cm. Manurut cerita yang beredar,
batu tersebut berasal dari kota Bayt
Al-Maqdis (Al-Quds) di Yerusallem, Palestina. Dari kota Baitul Makdis
itulah katanya terjadi nama Kudus yang berarti suci.
Menurut keterangan dari Prof. Dr. R. Ng. Poerbatjaraka,
diantaraa seluruh tempat yang ada di
tanah Jawa, hanya ada satu tempat saja yang diberi nama dalam bahasa
Arab, yaitu Kudus, sehingga segala sesuatunya pun spesifik Kudus.Namun menjadi
memungkinkan apabila Ja’far Shadiq dengan gelar Sunan Kudus yang memberi nama
daerah sebagai tempat kediamannya dengan nama Kudus. Hal tersebut berdasarkan
pada berita Serat Kanda yang mengisahkan ketika Sunan Ampel datang kedaerah
tersebut, tidakbernama Kudus melainkan Tajuk. Dugaan tersebut sesuai
dengan pernyataan bahwa Sunan Kudus adalah pendiri daerah Kudus sekitar tahun
1527 M.
Dengan bentuk Menara Kudus yang
dibuat sebagaimana percampuran yang hampir mirip dengan Candi, seringkali
bentuknya disamakan dengan candi-candi peninggalan agama Hindu terutama Candi
Kidal. Terlepas apakah sebagai peninggalan Hindu atau murni kesengajaan Sunan
Kudus pada kala pendiriannya, dikarenakan juga untuk menyesuaikan diri atau
adaptasi dengan adat serta kepercayaan lama dalam manjalankan dakwah di Islam,
maka dibuatlah menara tersebut yang mirip dengan bentuk candi orang Hindu pada
waktu itu.
A.
Sejarah Pendirian Masjid Menara Kudus
Sejak
berabad-abad lamanya pantai utara Laut Jawa telah menjadi jalur penghubung
pelayaran dan perdagangan laut antara Malaka, Indonesia bagian barat dengan
kepulauan rempah-rempah di Maluku.[2]
Bandar-bandar pelabuhan sepanjang pantai utara Laut Jawa menjadi pangkalan bagi
pelaut yang berhenti untuk bersinggah khusunya pedagang Islam kala itu. Mengingat
rempah-rempah yang melimpah tak kalah dengan Maluku, banyak pedagang yang
merasa tak perlu jauh-jauh berlayar ke Timur, dan menghabiskan waktu berdagang
di pesisir utara pulau Jawa. Berbagai pengaruh secara otomatis masuk dan
mempengaruhi masyarakat sekitar khususnya penyebaran agama Islam. Begitupun
secara perlahan masuk ke kota Kudus.
Penyebaran
Islam diri Kudus dikenal melalui dakwah Wali Songo yaitu Sunan Kudus. Ja’far
Shadiq adalah naman asli dari Sunan Kudus. Ia adalah putra Sunan Ngudung atau
Raden Utsman Haji, cicit dari Sunan Ampel. Ibunya ialah cucu Sunan Ampel, yaitu
Syarifah, anak dari Nyai Ageng Maloka. Sedangkan ayahnya merupakan putra dari
seorang Sultan Mesir, adik dari Rara Dumpal. Sunan Kudus juga memilki julukan
Raden Fatihan. Sunan Kudus bergelar Amirul Hajj,
karena beliau menjadi pemimpin rombongan jemaah haji. Beliau dikenal memiliki
tempreramen yang keras dan tegas. Selain itu, hal yang istimewa dari
penggambaran bagaiman kepribadian Sunan Kudus, beliau pun memiliki postur gagah
berani yang dipr]erlukan seorang panglima perang. Terbukti antara lain bahwa
beliaulah yang menggantikan ayahnya memimpin ekspedisi ke Jawa Timur, setelah
ayahnya itu gugur di medan pertempuran.
Selama
hidup, Sunan Kudus menyebarkan Islam di sekitar Kudus dan di Jawa Tengah
Pesisir Utara. Kepandaian dan kecakapan yang dimiliki menjadi dasar kiprahnya
sebagai wali. Beliau tidak hanya berdakwah di kalanganmasyarakat biasa, namun
juga terjun dalam lapangan politik kerajaan Demak. Beliau juga memiliki jiwa seni yang tinggi. Sama halnya dengan beberapa wali
lain semacam Sunan Kalijaga, kecintaan terhadap seni itu juga yang nantinya
digunakan untuk memuluskan jalan dakwahnya. Terbukti dengan diciptakannya Gending Mijil, Maskumambang. Cara inilah
yang digunakannya untuk memanggil masyarakat dan berkumpul, berceramah Islam.
Tak
jauh berbeda dengan sunan yang lain, Sunan Kudus juga banyak berpengaruh
terhadap dakwahnya yang mayoritas masyarakatnya masih berpegang teguh pada
agama lama, yaitu Hindu dan Budha. Dalam metode dakwahnya, bisa dikatakan Sunan
Kudus memiliki ciri khas kesamaan yang hamper mirip dengan Sunan Bonang dan
Sunan Kalijaga. Dalam berdakwah metode kekerasan benar-benar dijauhi dan dengan
cara pendekatan emosional.
Adat
yang menyimpang dari ajaran Islam, dan sukar untuk dirubah dibiarkannya dan
secara perlahan dirubah menjadi lebih baik. Dakwah yang dijalankan penuh dengan
kelembutan dan kedamaian. Apalagi dengan sikapnya yang terkenal telaten dalam
menyampaikan ajaran Islam. Hal ini yang membuat orang sekitar merasa terpikat
dan memeluk Islam tanpa adanya paksaan dari Sunan Kudus sendiri. Dalam
dakwahnya juga beliau benar-benar mendekati dan berbaur di tengah-tengah
masyarakat yang memeluk agama lama. Tak jarang juga beliau menggunakan ajaran
mereka untuk menarik simpati masyarakat, tetapi dengan memasukan kebudayaan
Islam di dalamnya, yang bertujuan untuk menarik simpati agar tertarik dan
merasa tidak asing dengan semua yang disampaikan dan mengena di hati.
Sebagai
contoh dalam pembangunan Masjid menara Kudus yang dibilang ada campur tangan
budaya Hindu Budha yang bertujuan didesain sedemikian rupa untuk menimbulkan
rasa nyaman bagi penganut agama lam, yaitu Hindu dan Budha. Bahkan keseganan akan hilang ketika bangunan
itu tidak jauh berbeda dengan peribadatan mereka sendiri.
Menggunakan
pendekatan emosional dan intelektual, membuat masyarakat yang tak tahu dari
maksud dan tujuan dari Sunan Kudus sendiri merasa penasaran dan rasa ingin tahu
dan mempelajari muncul, sehingga tidak sedikit dari mereka mengikuti jejak
Sunan Kudus dan memeluk Islam sebagai agama mereka. Setelah pendekatan emosional digunakan,
barulah Sunan Kudus berusaha mengarahkan ritual lama mereka ke ritual Islami
yang benar. Meskipum wujudnya tidak banyak dirubah, namun secara prinsip sudah
dirubah dengan maksud tujuan yang mengarah lebih baik. Selain itu, beliau juga
terkenal dengan kenyentrikan dakwah dalam “memainkan lembu”. Dengan maksud
memelihara lembu di area Masjid, yang tak sengaja digunakan untuk menjadi daya
tarik masyarakat sekitar yang menganggap sapi atau lembu merupakan hewan suci
umat agama Hindu.
Berdasarkan cerita yang
beredar, suatu ketika Sunan Kudus mengikat lembu di halaman masjid tanpa
menyakitinya. Masyarakat sekitar yang mayoritas beragama Hindu segera berdatangan.
Dalam kesempatan itulah, Sunan Kudus memberi penjelasan tentang agama Islam.
Sunan Kudus dalam
melaksanakan dakwahnya juga melarang jamaahnya untuk menyembelih lembu, meski
dalam ajaran Islam dihalalkan. Hal tersebut dilakukan guna strategi menarik simpati
masyarakat sekitar yang mayoritas beragama Hindu yang mengggap binatang lembu
sebagai mahluk suci. Berawal dari rasa simpati atas sikap Sunan Kudus yang
begitu memuliakan binatang, terutama lembu, masyarakat sekitar perlahan mulai
mengakui dan memeluk agama Islam. Hingga sekarang tradisi dan adat istiadat
tersebut terus dipertahankan dengan tidak menyembelih lembu pada saat hari idul adha untuk menghormati masyarakat
penganut agama Hindu dengan menggati kurban lembu dengan kurban kerbau.
Setelah berhasil menarik
simpati masyarakat penganut agama Hindu, Sunan Kudus bermaksud melakukan hal
yang sama dengan masyarakat penganut agama Budha. Sunan Kudus menggunakan cara
unik dengan membuat padasa wudhu (tempat berwudhu) dengan pancuran yang
berjumlah delapan buah. Pada masing-masing pancuran diberi sebuah arca yang
diletakkan di atas padasan. Hal tersebut berdasarkan delapan ajaran yang
dikenal dengan nama Asta Sanghika Marga.
Dalam melakukan dakwah di
daerah Kudus, Sunan Kudus sering menggunakan pendekatan emosional. Cara
kekerasan dijauhi. Dakwah yang di jalankannya penuh kedamaian dan kelembutan.
Sehingga dengan cara, penampilan dan sikapnya yang berbaur ditengah masyarakat
sekitar serta telaten dalam menyampaikan ajaran Islam, membuat masyarakat tertarik
dan terikat untuk lebih mengenal Islam tanpa adanya ketakutan atau paksaan.
Bahkan sering kali dalam menarik simpati dengan menggunakan ajaran Hindu-Budha
yang didalamnya telah dimasukkan nilai-nilai Islam. Namun tanpa tujuan
mencampuradukkan ajaran agama.
Setelah pendekatan emosional
dilakukan secara perlahan, Sunan Kudus berusaha mengarahkan ritual lama ke
ritual yang Islami. Ritual terebut disesuaikan dengan ajaran Islam. Meskipun
secara wujud tidak berubah, tetapi secara prinsip ritual sudah berubah dengan
mengandung nilai Islam di dalamnya.
Dalam hal adat istiadat,
Sunan Kudus tidak langsung menentang perbuatan masyarakat yang menyimpang
seperti menabur bunga di perempatan dan samping jalan dan menaruh sesajen di
kuburan. Sunan Kudus dengan kepandaiannya mengarahkan adat tersebut sesuai
dengan ajaran Islam. Salah satu yang Sunan Kudus lakukan adalah mengarahkan
fungsi sesajen yang berupa makanan yang kemudian diberikan kepada sesame yang
lebih membutuhkan. Sunan Kudus juga mengajarkan untuk meminta permohonan dan
pertolongan bukan kepada roh nenek moyang atau benda sekitar, melainkan hanya
kepada Allah SWT.
Selain itu, Sunan Kudus juga
mengubah tujuan acara Selametan Mitoni yang sejak sahulu disakralkan oleh
masyarakat penganut agama Hindu-Budha. Tujuan dari acara Mitoni adalah
bersyukur atas dikaruniai seorang anak. Namun masyarakat penganut agama
Hindu-Budha tidak bersyukur kepada Allah SWT. Sunan Kudus kemudian meluruskan
acara Mitoni menuju arah islami yaitu dengan bersyukur kepada Allah SWT.
Kepandaian dan kecakapan
yang dimiliki oleh Sunan Kudus menjadi dasar kiprahnya sebagai seorang wali
yang disegani. Sunan Kudus tidak hanya berdakwah dikalangan masyarakat biasa,
beliau bahkan berperan dalam perkembangan politik Kerajaan Demak sebagai
Senopati. Selain terjun dalam lapangan politik, Sunun Kudus juga dikenal
memiliki pandangan seni yang sangat tinggi. Seperti halnya beberapa wali
lainnya semacam Sunan Kalijaga, Sunan Kudus juga menggunakan seni sebagai
pemulus jalan dalam melakukan dakwah sehingga mudah diterima masyarakat pada
masa itu.
Salah
satu peninggalan Sunan Kudus yang paling masyur adalah Masjid Menara Kudus yang
terletak di Kota Kudus. Tak hanya indah dengan segala segi arsitekturnya,
tetapi juga memliki daya spiritual perjuangan Sunan Kudus dalam mengorbankan
api Islam di Kudus.
Asal-usul
sejarah Menara Kudus ini sangat bermacam-macam cerita, sebagian mengatakan pada
zaman dahulu sebelum kedatangan Islam di tanah Jawa adalah tempat pembakaran
mayat raja-raja atau kaum bangsawan. Ada pula yang mengatakan bahwa pada zaman
dahulu di bawah Menara itu terdapat sebuah kawah tempat pembuangan atau
penyimpanan abu para nenek moyang. Ada pula pendapat mengatakan bahwa Menara Kudus itu adalah bekas candi.
Dibuktikan dari segi arsitektur yang mirip dengan Candi Kidal Jawa Timur. Ada
juga yang berpendapat dahulu ada sumber mata air kembar. Namun akhirnya sumber
kembar itu ditutup oleh para wali yang diatasnya didirikan Menara Masjid.
Menara Masjid Kudus dengan
sengaja dibentuk sesuai dengan adat istiadat dan kepercayaan masyarakat
setempat pada masa itu dengan dengan memasukan nilai Islam didalamnya sebagai
sebuah menara masjid. Ketika Islam masuk ke daerah Kudus, masyarakat sekitar
masih memegang teguh ajaran-ajaran Hindu. Pada masa itu pula terjadi peralihan
kebudayaan dari Hindu ke Islam. Oleh karena itu, Menara Kudus memiliki bentuk
menyerupai candi orang Hindu karena sebagai bentuk penyesuaian dengan adat
serta kepercayaan lama dalam menjalankan ajaran Islam. Hal terebut guna
mencegah goncangan dalam menerima ajaran Islam sebagai agama baru didaerah
Kudus.
B.
Keunikan Masjid Menara Kudus
Masjid Menara Kudus
menjadi masjid kuno satu-satunya di Jawa yang mengambil nama bahasa Arab dengan
corak hindu didalamnya. Hal ini dapat dilihat di dalam masjid yang terdapat semacam pintu gerbang candi
yang berjumlah dua buah. Pada bagian terluar sering disebut sebagai jaba luar yang merupakan bagian terluar
dari masjid. Pada bagian dalam disebut sebagai jaba dalam, yang membagi ruangan masjid antara bagian tengah dengan
bagian inti atau dalam dari masjid. Dan mengenai candi yang terdapat dalam bangunan Masjid Menara Kudus,
berbagai pendapat timbul dalam persoalan ini apakah candi tersebut sebagai
unsur bangunan asli dalam masjid ataukah sebagai unsur bangunan yang
ditambahkan dalam masjid.
Di dekat Masjid Masjid
menara Kudus, terdapat peninggalan Sunan Kudus lainnya berupa menara masjid. Di
dalam tiang atap menara terapat sebuah cendrasengkala yang berbunyi Gapura Rusak Ewathing Jagad. Menurut
tafsiran Wiryo Saputro, karena menggunakan kalimat bahasa Jawa, dapat
disimpulkan bahwa tahun pembuatan menara adalah ‘gapura’= 9, ‘rusak’= 0,’ewah’=
6 dan ‘jagad’= 1, karena kalimat Jawa dibaca dari belakang maka menjadi 1609
Caka atau bertepatan dengan 1685 M. Kaki Menara Kudus
memiliki denah bujur sangkar menjorok keluar dan digunakan sebagai tangga
masuk. Tinggi menara kuranglebih 17 meter. Pada keempat sisi luar terdapat
hiasan 32 piring porselen bergambar manusia, unta, pohon kurma dan bunga. Di
dalam menara terdapat tangga kayu jati yang dibuat tahun 1895 M. Di puncak
menara terdapat sebuah bedug dan mustaka semacam hiasan. Di depan menara
terdapat lekungan besi putih yang jika dilihat kurang sesuai dengan corak
Hindu-islam secara keseluruhan. Dari segi arkeologis, bisa dilihat perpaduan
Hindu dan Islam sangatlah Nampak. Hal ini dapat dilihat dari hiasan atau seni
ukir yang mirip dengan candi, serta bentuknya terdiri dari tiga bagian, kaki,
badan, dan puncak. Di dalam masjid juga terdapat semacam pintu gerbangcandi
yang berjumlah dua buah. Pintu gerbang sekaligus menggambarkan tingkat dalam
agama Hindu.
Asal-usul
sejarah Menara Kudus ini sangat bermacam-macam cerita, sebagian mengatakan pada
zaman dahulu sebelum kedatangan Islam di tanah Jawa adalah tempat pembakaran
mayat raja-raja atau kaum bangsawan. Ada pula yang mengatakan bahwa pada zaman
dahulu di bawah Menara itu terdapat sebuah kawah tempat pembuangan atau
penyimpanan abu para nenek moyang. Ada pula pendapat mengatakan bahwa Menara Kudus itu adalah bekas candi.
Dibuktikan dari segi arsitektur yang mirip dengan Candi Kidal Jawa Timur. Ada
juga yang berpendapat dahulu ada sumber mata air kembar. Namun akhirnya sumber
kembar itu ditutup oleh para wali yang diatasnya didirikan Menara Masjid.
Selain masjid, di belakang masjid adalah komplek makam Kanjeng
Sunan Kudus dan para keluarganya. Komplek-komplek makam tersebut
terbagi-bagi dalam beberapa blok, dan tiap blok merupakan bagian tersendiri
dari hubungannya terhadap Kanjeng Sunan. Ada blok para putera dan puteri
Kanjeng Sunan, ada blok para Panglima perang dan blok paling besar adalah makam
Kanjeng Sunan sendiri. Uniknya adalah semua pintu penghubung antar blok
berbentuk gapura candi-candi. Tembok-tembok yang mengitarinya pun dari bata
merah yang disusun berjenjang, ada yang menjorok ke dalam dan ke luar seperti
layaknya bangunan candi. Panorama yang nampak adalah komplek pemakaman Islam
namun bercorak Hindu.
Keunikan lain adalah
beduk dan kentongan pada pendopo di bagian kepala menara. Peletakan benda-benda
seperti itu merupakan tata letak yang tidak lazim di masjid-masjid Jawa
tradisional. Karena alat-alat yang biasa ditabuh sebelum dikumandangkan azan
itu hampir selalu diletakkan di pendopo masjid sebelah timur. Wajar jika hal ini
memperkuat kaitan dengan menara kul-kul Bali karena pada menarakul-kul Bali biasanya
tergantung kentongan di bagian kepala menara tepat di bawah atap.
Sedangkan bentuk arca
seringkali dikaitkan dengan kepala sapi bernama Kerbau Gumarang karena binatang
sapi dulunya diagungkan orang Hindu di Kudus. Bahkan hingga sekarang meski
mereka telah menjadi Muslim, masih memiliki tradisi menolak penyembelihan sapi
yang konon warisan dari sunan kharismatik pencipta gending Mijil dan
Maskumambang itu.
Menara Masjid Kudus
merupakan masjid dengan perpaduan antara seni Hindu dan Islam. Hal tersebut
Nampak pada hiasan atau seni ukir yang terdapat di menara masjid mirip dengan
candi. Bentuk menarapun sama seperti candi dimana terdiri dari 3 bagian yaitu
kaki, badan dan puncak. Pada bagian puncak memiliki bentuk tumpeng dengan
mustika pada bagian puncaknya.
Sejarah mengenai
berdirinya Menara Masjid Kudus memiliki banyak macam. Sebagian mengatakan bahwa
di Menara Masjid Kudus dahulu terdapat sumber mata air. Dari sumber tersebur
memancarkan air hidup yang dalam bahasa Jawa disebut ‘banyu panguripan’. Namun mata air tersebut kemudian ditutup oleh
para wali dan diatasnya didirikan Menara Masjid.
DAFTAR PUSTAKA
Saksono Wijdi, Mengislamkan
Tanah Jawa Telaah atas Metode Dakwah Walisongo, Mizan Khaznah Ilmu-Ilmu
Islam, 1994.
Daliman A, Islamisasi
dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam
di Indonesia, Yogyakarta: Ombak, 2012.
Ariniro I. Rofi’ie, Panduan Lengkap Ziarah Wali Songo, Diva Press, 2012.
Nurhayati Feby, Nuryanti Reny, Sukendar. Wali Sanga: Profil dan Warisannya,
Pustaka Timut, 2007.
by:
Ditya Dani Nugroho (15406241019)
Aniqatul Istifadah (15406241045)
*Mahasiswa Pendidikan Sejarah UNY 2015
Komentar
Posting Komentar